Frankenstein: Dari Novel Mary Shelley ke Film Guillermo del Toro — Evolusi Makna Sang Monster
Daftar Isi
- Mary Shelley’s Original Novel
- Berbagai Adaptasi
- Del Toro vs Mary Shelley
- Monster yang Ikonik: Frankenstein 1931
- We Learn from the Monster
Saat mendengar kata “Frankenstein,” yang terbayang biasanya sosok monster raksasa berkulit hijau, penuh jahitan, dengan sekrup di leher. Padahal, visual itu bukan dari novel aslinya, tetapi dari film Frankenstein (1931) produksi Universal Pictures. Aktornya Boris Karloff, dengan make-up legendaris karya Jack P. Pierce. Karena film ini sukses besar secara komersial dan diapresiasi penonton maupun kritikus, desain monster versi 1931 inilah yang menjadi standar visual Frankenstein di pop culture hingga sekarang.
Banyak yang salah kaprah bahwa Frankenstein adalah nama sang makhluk. Padahal, Frankenstein adalah nama belakang Victor Frankenstein, si ilmuwan yang membangkitkan makhluk itu. Tapi karena yang terkenal justru “si makhluk”, ya maklum saja kalau publik ikut memanggilnya Frankenstein. Toh, secara simbolis, dia memang “anak” ciptaan Victor — jadi sah-sah saja.
Dari lahir di tahun 1818 hingga adaptasi terbaru oleh Guillermo del Toro, sudah puluhan versi Frankenstein dibuat — dari yang setia ke novel sampai yang ngawur. Gara-gara menonton versi Del Toro dan membuat video esai tentang ini, saya akhirnya menelusuri novel aslinya, membaca latar belakang Mary Shelley, dan menonton adaptasi-adaptasi penting. Perjalanan ini benar-benar mengubah cara saya memandang Frankenstein.
Mary Shelley’s Original Novel
Tahukah kalian kalau Indonesia secara tidak langsung berperan dalam lahirnya Frankenstein? Tahun 1815, Gunung Tambora di Sumbawa meletus dahsyat dan menyebabkan “The Year Without Summer” di Eropa. Mary dan empat rekannya—termasuk Lord Byron—terjebak berhari-hari di vila dekat Lake Geneva karena cuaca gelap, dingin, dan hujan terus-menerus.
Di tengah kebosanan itu, Byron mengusulkan tantangan: “Bagaimana kalau kita masing-masing menulis cerita hantu?” Mary awalnya bingung. Sampai suatu malam ia mendengar Percy Shelley (suaminya) dan Byron berdebat soal kelistrikan, galvanisme, dan kemungkinan sains menghidupkan kembali yang mati. Malam itu Mary mengalami sebuah “waking dream”: ia melihat seorang siswa pucat berlutut di samping makhluk yang ia rangkai sendiri — dan makhluk itu mulai bergerak.
Dari mimpi inilah lahir Frankenstein; or, The Modern Prometheus pada tahun 1818, saat Mary baru berusia 20 tahun.
Makna Filosofis di Balik Novel
Walaupun asalnya tantangan menulis cerita hantu, Frankenstein ternyata sarat makna yang masih relevan di zaman sekarang ini:
1. Sains Tanpa Etika
Pada abad ke-18 dan ke-19, kelistrikan itu seperti AI zaman sekarang — menakjubkan sekaligus menakutkan. Eksperimen galvanisme membuat orang takjub dan takut: otot bangkai katak berkedut, burung mati mengepak, bahkan tubuh manusia bergerak ketika dialiri listrik. Publik takut sains akan melewati batas moral dan “menantang Tuhan”. Ini terlihat jelas pada karakter Victor Frankenstein yang punya “God complex”.
Ditambah lagi, era itu bertepatan dengan Revolusi Industri. Pabrik tumbuh di mana-mana, pekerjaan diambil alih oleh mesin, dan masyarakat merasakan cemas karena dunia berubah terlalu cepat. Situasinya sangat mirip dengan kekhawatiran kita terhadap AI hari ini. Karena itu, makna filosofis pertama dari novel ini adalah Etika Penciptaan: tanggung jawab versus pengabaian.
2. Apa Itu Kemanusiaan?
Selain itu, Mary Shelley juga mengangkat refleksi tentang kemanusiaan. Si makhluk memang digambarkan buruk rupa dan menakutkan, tapi secara emosional ia belajar berempati, mencari koneksi, mempelajari filosofi, ingin dicintai, dan ingin diterima dalam masyarakat. Sementara Victor—si manusia yang katanya “normal”—justru egois, pengecut, dan tidak bermoral. Pertanyaan yang Shelley ajukan adalah: apa yang membuat seseorang benar-benar manusia? Penampilan? Atau karakter moralnya?
Menurut Shelley, justru makhluk ciptaan itulah yang lebih manusia daripada penciptanya sendiri. Dan ini barulah dua dari sekian banyak nilai filosofis dalam novel ini. Bagi Mary Shelley, Frankenstein bukan hanya cerita horor, tetapi karya moral dan filosofis. Ia bahkan sering kecewa ketika orang menganggap novelnya cuma kisah monster menakutkan, padahal inti pesannya jauh lebih dalam.
Berbagai Adaptasi
Setelah novelnya dipublikasikan, Frankenstein langsung menjadi populer. Pada tahun 1820–1830-an, muncul berbagai pertunjukan teatrikal seperti Presumption; or, The Fate of Frankenstein (1823) dan Frankenstein; or, The Man and the Monster, serta banyak adaptasi panggung lainnya. Bahkan setelah Mary Shelley meninggal pada tahun 1851, adaptasi film mulai bermunculan.
Yang paling ikonik tentu saja film 1931 produksi Universal Pictures — versi yang membentuk penampakan Frankenstein dalam “ingatan kolektif” dunia sampai hari ini. Saya baru saja menontonnya (review-nya ada di bagian bawah). Lalu ada juga Frankenstein (2004), film TV Amerika bergenre science fiction–horror yang disutradarai Marcus Nispel dan ditulis John Shiban, yang sering disebut sebagai adaptasi paling setia pada novel. Saya sedang menonton yang ini juga.
Kalau mau disebut semua, jumlah adaptasi Frankenstein memang luar biasa banyak. Tapi yang wajib disebut tentu adalah Frankenstein (2025) karya Guillermo del Toro — proyek impian yang ia kejar selama puluhan tahun. Namun dari sekian banyak adaptasi ini, bahkan yang paling berusaha setia sekalipun, tidak ada yang benar-benar menggambarkan novel Mary Shelley secara plek ketiplek. Setiap versi selalu membawa interpretasinya sendiri.
Del Toro vs Mary Shelley
Menurut saya pribadi, Guillermo del Toro berusaha menghormati novel aslinya. Namun, seperti adaptasi pada umumnya, sebuah novel sedalam Frankenstein hampir mustahil dipadatkan sepenuhnya ke dalam film berdurasi beberapa jam. Karena itu, versi del Toro juga menghadirkan banyak perubahan — baik untuk kebutuhan sinema maupun untuk memasukkan worldview-nya sendiri tentang the curse of inheritance: luka batin yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Berikut beberapa perbedaan utama antara film del Toro dan novel Mary Shelley:
1. Makna
Sama seperti novel, del Toro menekankan filosofi dan moralitas, bukan sekadar horor. Jika novel banyak membahas etika penciptaan, isolasi, tanggung jawab, dan konsekuensi ilmiah, maka del Toro lebih menyorot tanggung jawab emosional, tragedi kesepian, salah paham, dan luka pengasuhan.
2. Desain Makhluk
Desain makhluk del Toro berbeda total — bukan mengikuti novel dan tentu bukan mengikuti ikon 1931. Awalnya pemeran makhluk adalah Andrew Garfield. Guillermo dan timnya menghabiskan sembilan bulan merancang desain makhluk khusus untuk Garfield. Namun ketika Garfield batal karena bentrok jadwal, mereka mendesain ulang makhluk untuk Jacob Elordi hanya dalam sembilan minggu! Sayangnya, desain versi Garfield tidak pernah dipublikasikan.
3. Karakter Makhluk
Karakter makhluk versi del Toro jauh lebih lembut, lebih polos, dan tidak driven by revenge. Ia tidak membunuh dengan niat; kekerasan hanya terjadi jika ia terpojok. Bahkan kematian William dan Elizabeth di film del Toro terjadi secara tidak sengaja, bukan sebagai tindakan balas dendam. Makhluknya juga loyal dan mampu memaafkan Victor — jauh berbeda dari versi novel yang cerdas, filosofis, dan penuh kemarahan akibat penolakan dan penderitaan.
4. Permintaan Pasangan
Soal pasangan, dalam novel Victor sempat menyanggupi permintaan makhluk untuk dibuatkan pasangan, lalu membatalkannya di tengah jalan, sehingga memicu dendam besar. Dalam film del Toro, Victor langsung menolak tanpa proses apa pun.
5. Perubahan Karakter
Banyak karakter mengalami perubahan atau dihilangkan sama sekali.
• Elizabeth: di novel ia adalah tunangan Victor, tetapi di versi del Toro ia menjadi tunangan William (adik Victor). Perannya juga jauh lebih kompleks dan memiliki hubungan emosional yang kuat dengan sang makhluk.
• Ayah Victor: di novel sosok yang bijaksana dan suportif; di film del Toro menjadi figur yang keras, dingin, dan abusive — cerminan tema trauma turun-temurun.
• Justine Moritz, Henry Clerval, Safie, dan beberapa karakter kunci lain tidak muncul dalam versi del Toro.
6. Ending
Ending adalah perbedaan yang paling mengena. Di novel, Victor menghabiskan sisa hidup memburu makhluknya dengan penuh kebencian sampai ia mati tanpa rekonsiliasi. Ketika makhluk menemukan jasad Victor, ia justru berduka mendalam — tetapi tetap tidak ada penyelesaian. Luka batin tetap menggantung, tragis, dan sangat realistis.
Sebaliknya, versi del Toro memberikan ruang bagi penyembuhan. Di akhir hidupnya, Victor berbisik, “Forgive me, my son.” Dan sang makhluk menjawab, “I forgive you.” Adegan rekonsiliasi ini membuat interpretasi del Toro terasa jauh lebih lembut, manusiawi, dan menyentuh.
Monster yang Ikonik: Frankenstein 1931
Namun ada satu pesan penting yang tetap terasa:
We Learn from the Monster
Dari sebuah novel klasik yang lahir dari konteks sosial abad ke-18, muncullah sosok ikonik yang membawa pesan yang masih relevan hingga hari ini—meskipun konteksnya berubah. Pada masa itu, masyarakat diliputi ketakutan karena tidak memahami kemajuan teknologi, perubahan cara kerja, dan kemungkinan-kemungkinan baru yang muncul dari sains. Rasa ngeri bercampur rasa takjub.
Coba pikir: mirip nggak dengan situasi sekarang?
Di zaman now, kita juga melihat perdebatan panas tentang AI, robotika, gene editing, dan biologi sintetis. Orang takut pekerjaannya digantikan mesin, tapi sekaligus terpukau oleh kehebatan teknologi baru. Frankenstein bisa menjadi cermin bagi kita: manusia mampu menciptakan keajaiban teknologi, tetapi semuanya harus disertai tanggung jawab etika dan moral. Inovasi idealnya membawa kesejahteraan dan keadilan, bukan memperlebar jurang antara yang sudah kaya dan yang rentan.
Membaca novel aslinya, lalu menonton berbagai adaptasinya, membuat kita lebih memahami luasnya interpretasi Frankenstein. Seni berubah mengikuti zamannya, dan setiap adaptasi menyorot aspek yang berbeda. Dari horror as philosophy (Mary Shelley), ke horror as spectacle (film 1931), hingga horror with empathy (versi del Toro 2025).
Pada akhirnya, Frankenstein bukan sekadar cerita monster. Ia adalah kisah tentang penciptaan, tanggung jawab, kesepian, luka batin, dan betapa rapuhnya batas-batas kemanusiaan kita. Jika kamu punya interpretasi pribadi tentang Frankenstein, tulis di kolom komentar ya — aku ingin baca perspektif kalian.
Komentar
Posting Komentar
Komen dong...