AYO FOLLOW

Warisan Digital dan Alm. Cumi Lebay

 "Menulis adalah bekerja untuk keabadian." kata Pramoedya Ananta Toer. Saya mengimani dan mengamini quote ini. Tulisan adalah harta yang tak lekang waktu, yang tak akan pernah habis walaupun dibagikan kepada berapapun orang di dunia. Apalagi di zaman yang serba digital ini. Karya tulis yang sudah duduk di dunia maya tidak akan hilang. Tapi... apa benar begitu?




“Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari. (Mama, 84)”

― Pramoedya Ananta Toer, Child of All Nations


Sesuai dengan kutipan dari Pramoedya Ananta Toer di atas, I used to think that writing is the path to eternity. Setelah seseorang telah tiada, yang dapat diabadikan adalah karya-karyanya yang salah satunya bisa dalam bentuk tulisan. Apalagi di zaman ini di mana kita bisa meninggalkan jejak digital di mana-mana baik yang aktif maupun pasif. Tapi ternyata anggapan saya itu dipatahkan oleh suatu kejadian.


Farewell cumilebay dot com

Suatu hari saya sedang browsing-browsing untuk cari kuliner di Geopark Ciletuh. Saya sampai di blognya rumikasjourney.com dan langsung terhenyak waktu baca subjudulnya "Geopark Ciletuh dan Alm. Om Cumi Lebay." Hah?! Nggak salah nih yang saya baca? Mas Cumi udah nggak ada? Benar-benar kaget dan setengah nggak percaya.

Maafkan kalau saya kudet baru tahu berita ini saat ini. Mungkin salah saya juga nggak pernah kontek Mas Cumi lagi sejak pertemuan kami bertahun-tahun yang lalu di Newmont, Sumbawa. Waktu itu perjalanan kami cuma sekitar semingguan. Tapi  pertemuan yang sekelibat itu cukup untuk Mas Cumi menorehkan memori di hidup saya.

Alm. Mas Cumi yang saya kenal waktu itu berkepribadian ceria dan nyentrik. Dia bisa menghidupkan suasana di mana pun dan kapan pun terutama dengan pose fotonya yang pakai kancut warna gonjreng! Mungkin ada aja yang risih, tapi kayaknya dia nggak terlalu peduli apa kata orang. Mas Cumi juga orang yang enak diajak tukar pikiran. It wasn't hard to talk to him. Saya yakin banyak yang setuju kalau Mas Cumi itu unforgetable. He traveled (almost) all the time. He lived his life.


In memoriam cumilebay dot com

Setelah itu saya "berkunjung" ke website cumilebay dot com, only to find "ERROR!" dan "Domain Unavailable." Hancurlah hati saya seketika itu. Bagaimana lagi kita yang masih hidup mau "duduk" bersama yang sudah tiada? Saya ingin buka lagi, lihat lagi, baca lagi tulisan-tulisan Mas Cumi. Tetapi yang muncul hanyalah ERROR! Semua hasil karya yang pernah dia kerjakan seperti lenyap begitu saja. Segampang itu kah?

Di situlah kepercayaan saya bahwa jalan menuju "keabadian" adalah dengan menulis seperti kata Pramoedya Ananta Toer... patah! Saat seorang blogger meninggal, situsnya akan hilang bersama dia jika tidak ada penerus yang maintain. Trus musti gimana dong?


Tantangan Teknis Menuju Keabadian

Saya menemukan satu artikel menarik yang paling komprehensif (yang saya temukan) mengenai usaha mempertahankan suatu blog atau situs. Ternyata maintain website sampai setelah si owner tiada itu bukan perkara sepele. Katakanlah si owner bisa membayar domain atau hosting sampai 100 tahun ke depan (nggak selamanya juga). Coba ya kita lihat masalahnya.

Membayar domain atau hosting sampai 100 tahun ke depan logikanya bisa aja dilakukan. Tapi yakin perusahaan penyedia domain atau hosting itu masih bakal ada terus? Teknologi juga bakal berubah banyak dalam beberapa tahun aja. Konsep ini mungkin cuma bisa jalan sampai perusahaan penyedia domain atau hosting atau teknologinya masih exist.



Sebenarnya ada lho perusahaan penyedia domain atau hosting yang bikin paket lifetime hosting. Tapi ya itu tadi, balik-balik lagi ke persoalan yang di atas. Bahkan menurut kabar, layanan paket lifetime perusahaan tersebut berakhir nggak lama setelah diluncurkan. Perusahaan itu bilang begini:

"Unfortunately, the “Lifetime” plans were not a sustainable business model. We can’t continue paying for servers, software, bandwidth and support if there’s no incoming money to cover these costs. It’s not remotely possible to provide any product “for life” that has recurring costs associated with it."

Lah, gimana?

Jadi, kalau ada yang nawarin "a lifetime of hosting" atau "a hundred years of domain registration" coba kritis sedikit. Tanya pada diri sendiri: Gimana kalau perusahaannya mau jatuh? Seberapa reliable penerusnya? Apakah mereka tetap bakal komit sama customer yang udah bau tanah atau bahkan udah jadi tanah?  Just sign to NO.

The Least Thing We Can Do

  1. Yang paling mungkin dilakukan adalah mewariskan aset-aset digital kita kepada ahli waris yang bisa dipercaya (dan mampu) untuk mengurus ini semua. Another challenge: bener nggak si ahli waris itu bisa dipercaya?
  2. Tulis (atau backup) tulisan-tulisan kita di blogging platform dengan managed-hosting seperti Tumblr, Medium, Blogger, LiveJournal, dll. Another challenge: seberapa lama blogging platform ini bisa bertahan? Bahkan menurut suatu studi, perusahaan sebesar Google pun menutup satu dari tiga (1:3) layanan yang di-launching.
  3. Bukukan blog kita, bisa beruba e-book atau print-out.
  4. Blog yang sudah termonetisasi bisa memasukkan pendapatannya ke rekening PayPal di mana perusahaan penyedia domain dan hosting menarik pembayaran dari akun PayPal tersebut. Lumayan lah, solusi ini bisa mempertahankan blog kita sampai income < outcome atau PayPal dan perusahaan penyedia domain dan hosting masih bertahan.

Sebenarnya yang terpenting dari keabadian suatu karya tulis (khususnya untuk milik para travel blogger) adalah nostalgia buat kita yang masih bernapas di sini. Dengan membaca tulisan-tulisan mereka, kita bisa mengenang sampai seolah-olah masih bisa "berjalan dan berpetualang" bersama mereka. Jadi at least kalau bisa, tulisan mereka juga bisa ada selama yang mengenal mereka masih hidup. Untuk masalah ini nomor 2 dan 3 saya rasa bisa menjadi solusinya.

Kalau tulisan mereka syukur-syukur bisa jadi referensi di masa depan itu syukur alhamdulillah banget lah ya. Tapi itu ya kompleksitas yang berbeda lagi.


Moving on

Solusi no. 5: Just let it go, let's move on.

Mungkin kematian itu sendiri menandakan bahwa segala urusan kita di Bumi ini sudah usai. Film bisa membusuk. Bahkan buku fisik tidak dicetak lagi atau mungkin tenggelam oleh zaman. Tidak ada satu pun di dunia ini yang abadi. Saya juga jadi wonder kenapa manusia begitu terobsesi dengan keabadian.

Saya ingat dulu pernah curhat sama alm. Mas Cumi. Waktu itu beliau memberikan analogi yang saya masih ingat sampai sekarang. Intinya… saya harus move on. Mungkin move on adalah jalan yang terbaik. Move on dari masalah yang sudah lewat, move on dari blogger yang udah nggak ada, move on dari segala urusan kita di Bumi saat nanti kita menyusul mereka.

Last word buat Mas Cumi… terima kasih ya Mas Cum sudah pernah singgah di kereta perjalananku walau cuma sebentar. Semoga Mas Cum beristirahat dengan damai dan bahagia di sana. Tengkyu banget untuk wejangannya. Aku sudah move on.

Komentar

  1. turut berduka cita dengan kepergian mas cum, semoga selalu menjadi inspirasi. terimakasih untuk artikel ini, mengingatkan kita akan pentingnya menjaga warisan digital.

    BalasHapus
  2. Artikel yang menarik bgt, ulasannya sangat detail.. Sya suka dengan sebuah kutipan di kalimat pembukannya: “menulis adalah bekerja untuk keabadian”.. sya setuju dan sependapat. Menulis adalah salah satu bentuk warisan abadi..
    Kemudian saat kita memilih menjadi Blogger, kemana tulisan tersebut kita sudah tiada? Terlepas dari beberapa tips yang bisa mengamankan monetisasi blog kita, sya setuju dg salah satu tips yang menyebutkan bahwa kita perlu menyusun arsip atau draft dalam bentuk e-book.. mgkin itu menjadi sebuah warisan abadi kita yang bisa dikenang utk para pembaca selanjutnya..
    terimakasih telah berbagi informasinya ya.. silahkan mampir juga ke blog saya tegaraya.com

    BalasHapus
  3. Artikel yang menarik bgt, ulasannya sangat detail.. Sya suka dengan sebuah kutipan di kalimat pembukannya: “menulis adalah bekerja untuk keabadian”.. sya setuju dan sependapat. Menulis adalah salah satu bentuk warisan abadi..
    Kemudian saat kita memilih menjadi Blogger, kemana tulisan tersebut kita sudah tiada? Terlepas dari beberapa tips yang bisa mengamankan monetisasi blog kita, sya setuju dg salah satu tips yang menyebutkan bahwa kita perlu menyusun arsip atau draft dalam bentuk e-book.. mgkin itu menjadi sebuah warisan abadi kita yang bisa dikenang utk para pembaca selanjutnya..
    terimakasih telah berbagi informasinya ya.. silahkan mampir juga ke blog saya tegaraya.com

    BalasHapus
  4. sedih banget ya kak, salah satu penulis yang mengisi beranda sosial media dulu. oh ya kakak ikut newmont bootcamp dulu ya? kebetulan tenggal tinggal saya dekat banget sama Newmont kak yang sekrang berganti jadi Amman Mineral, salam kenal dari desa Benete Sumbawa barat

    BalasHapus
  5. Waah setuju banget dengan kutipan yang menyatakan hanya karya kita lah yang abadi ketika kita sudah tidak ada di dunia ini. Maka berkaryalah agar orang-orang bisa tetap bisa melihat dan mengenang karya yang kita buat, salah satunya adalah melalui tulisan dalam blog seperti ini. Thanks kak sudah sharing

    BalasHapus
  6. Setuju dengan pesan morilnya sebagai bloger menulislah untuk kebadian dan berfaedah agar kelak sewaktu waktu dipanggil Tuhan sudah memiliki warisan amal

    BalasHapus
  7. Tapi, menurutku kalau sebuah karya itu berkualitas, punya nilai seni, dan mampu mempengaruhi banyak orang, kemungkinan besar orang-orang sendiri yang akan mempertahankan itu bukan ya mbak...

    Soalnya Khairil Anwar dkk kan dulu malah berkarya sejak sebelum internet semegah saat ini. Tapi, namanya masih akrab saja di telinga kita... dan karya-karyanya juga masih bisa kita nikmati sampai sekarang.

    BalasHapus
  8. betul banget kak, menulis untuk keabadian, bisa dalam bentuk tulisan yang masih tertinggal atau pesan moral yang diwariskan terus menerus dari tulisan ya tertinggal

    BalasHapus

Posting Komentar

Komen dong...