AYO FOLLOW

Kwitansi Kuil: Ketika Iman Berubah Menjadi Model Bisnis Paling Stabil

Bagaimana jika iman—yang seharusnya membebaskan—justru menjadi model bisnis paling stabil? Lewat serial The Believers, tulisan ini mengajak kita menelusuri bagaimana ritual, harapan, dan ketulusan ibadah dapat dikemas, dijual, dan dieksploitasi tanpa terlihat kotor.


The Believers Season 1, tayang di Netflix sejak Maret 2024.



The Believers: Cermin Kebusukan yang Terlalu Familiar

The Believers Season 2 baru saja rilis di Netflix. Salut untuk Thailand, karena berani mengangkat tema yang jarang disentuh secara terbuka: eksploitasi agama berskala besar—monetisasi iman, pencucian uang lewat kuil, dengan politisi korup sebagai dalang utamanya. Lebih dari itu, serial ini tidak berhenti sebagai konsumsi lokal, tetapi beredar hingga mancanegara.

Mungkin keberanian ini karena Thai Buddhism bersifat sinkretik, cair, dan tidak tersentralisasi. Kritik terhadap praktik keagamaan tidak otomatis dibaca sebagai serangan terhadap imannya. Di Indonesia, saya belum menemukan karya arus utama yang berani membahas model eksploitasi serupa secara menyeluruh. Kalau ada yang ingin mencoba… Wallahu A’lam. Bisa jadi lenyap sebelum selesai.

Season pertama memperlihatkan titik awalnya: tiga anak startup—Win, Game, dan Dear—yang terjerat utang setelah bisnis NFT mereka gagal, lalu melihat peluang dalam derasnya arus donasi kuil. Di Season 2, ceritanya bereskalasi. Mereka bukan lagi pemain utama, melainkan pion dalam jaringan politik korup yang lebih besar, lebih rapi, dan jauh lebih kejam—menggunakan agama sebagai mesin pencuci uang dan komodifikasi harapan.

Indonesia terasa terlalu mirip dengan Thailand: patronase yang mengakar, spiritualitas yang cair, dan korupsi yang berjalan seirama. Jika kita belum bisa—atau belum berani—membuat film seperti ini, setidaknya kita bisa bercermin dari negara tetangga. Ada satu adegan di Season 2 yang merangkum semuanya. Politisi Wut, sang dalang, menantang polisi yang hendak mencekalnya:

“Kamu serius mau mencekal saya? Transferanmu kurang? Mau hilang selamanya?”

“Naif sekali. Kamu benar-benar percaya hukum bisa menyentuh saya? Kamu sudah lama jadi polisi—harusnya tahu lah.”

Adegan ini terasa nyata karena kita pernah—atau masih—hidup di dalam sistem seperti itu.


Disclaimer: The Believers menggunakan Thai Buddhism sebagai latar, tetapi polanya terjadi di mana-mana. Jubahnya mungkin berbeda. Busuknya sebelas dua belas. Kritik dalam tulisan ini diarahkan pada sistem dan rancangannya, bukan pada iman atau individu yang beribadah dengan tulus. Bacalah bagian berikutnya dengan pikiran terbuka.


Game memegang plakat dedikasi logam berbentuk daun Bodhi—dijual kepada umat sebagai simbol harapan dan doa, untuk kemudian digantung di pohon Pho raksasa. Salah satu proyek komersialisasi iman yang digagas Win dan Game.



Merit, Kekayaan, dan Transaksi Kosmis dalam Thai Buddhism

Sebelum membahas The Believers lebih jauh, kita perlu menjembatani perbedaan konteks kepercayaan antara Thailand dan Indonesia. Indonesia mayoritas menganut agama-agama Abrahamik, yang umumnya tidak mengagung-agungkan kemakmuran material secara terang-terangan—bahkan dalam beberapa tradisi, kemiskinan justru dirromantisasi. Thailand berbeda. Sekitar 93 persen penduduknya menganut Thai Buddhism, sebuah praktik Theravada yang cair dan sinkretik, bercampur dengan unsur Brahman–Hindu, animisme, serta negosiasi duniawi dengan dewa dan roh.

Dalam serial ini, kita akan sering mendengar istilah make merit. Secara sederhana, make merit merujuk pada akumulasi karma positif melalui tindakan-tindakan baik. Padanan terdekatnya dalam Bahasa Indonesia adalah berbuat kebajikan. Namun berbeda dengan sekadar berdonasi, make merit bekerja sebagai transaksi kosmis: seseorang menanam kebajikan hari ini dengan harapan hidupnya esok menjadi lebih lancar, aman, dan sejahtera.

Dalam konteks agama Abrahamik, doa yang blak-blakan meminta kekayaan sering terasa kasar atau kurang elok. Namun dalam Thai Buddhism, logika ini justru dianggap wajar. Kekayaan tidak dipandang sebagai dosa, melainkan sebagai buah dari karma baik. Karena itu, seorang miliarder yang berdonasi besar ke kuil tidak dicurigai, melainkan dipandang sebagai teladan kebajikan.

Memahami perbedaan ini penting agar saat menonton The Believers, kita tidak tergesa-gesa merasa aneh atau menghakimi. Justru dari perbedaan inilah kita bisa mengenali persamaan yang lebih dalam: bagaimana, dalam konteks apa pun, agama dapat berubah menjadi ladang eksploitasi ketika iman dipertemukan dengan kekuasaan dan uang. Jika ada pembaca yang memiliki pemahaman lebih mendalam tentang Thai Buddhism, silakan berbagi di kolom komentar.


“Sathu” (สาธุ), yang berarti “amin”: ucapan sakral
untuk mengesahkan doa, restu, dan perbuatan baik.


Sathu Commercial: Saat Iman Menjadi Model Bisnis

Setelah memahami konteks Thai Buddhism, menjadi lebih mudah melihat bagaimana iman dapat dikomodifikasi—persis seperti yang digambarkan dalam The Believers. Sebuah artikel berjudul สาธุ Commercial (Sathu Commercial) di Medium oleh penulis Thailand, menjembatani logika kepercayaan ini dengan praktik komersialnya di dunia nyata. Menariknya, judul asli The Believers dalam bahasa Thailand adalah สาธุ (Sathu)—kata sakral yang setara dengan “amin”, diucapkan untuk mengesahkan doa, restu, atau perbuatan baik. Kata yang sama, dalam praktiknya, justru berubah menjadi merek.

Logika make merit sejak awal memang bersifat transaksional secara kosmis: berbuat kebajikan dengan harapan menerima balasan yang baik, termasuk dalam bentuk kelancaran rezeki. Logika inilah yang menjadi celah sempurna bagi komersialisasi iman.

Artikel tersebut memberi contoh konkret. Pada 16 Agustus 2568 (2025), dipromosikan sebuah acara bertajuk “Upacara Pembuka Rezeki dan Kekayaan” melalui Line dan media sosial. Visualnya familiar: lilin, Ganesha, Naga, dengan slogan seperti “Buka energi finansial, tarik kekayaan, tingkatkan wibawa.” Harga tiketnya sederhana namun mencolok: 299 Baht + usia = nominal transfer.

Ini bukan lagi sekadar ritual, melainkan produk harapan digital. Ada QR code, live streaming, dan strategi personalized pricing yang membuat peserta merasa ritual ini “dirancang khusus” untuk mereka. Auspicious Day atau Hari Baik menciptakan urgensi; visual sakral memicu emosi; dan janji yang ditawarkan selalu sama: transfer mudah, make merit cepat. Formulanya sederhana—Ritual + Ketakutan Ekonomi = Mesin Uang Baru.

Menurut artikel tersebut, sekitar 88% orang Thailand masih percaya pada ramalan, terutama yang berkaitan dengan keuangan. Di masa ekonomi sulit, iman menjadi tambatan yang paling murah dan paling mudah. Di titik inilah spiritualitas mulai dijalankan dengan logika start-up: efisiensi, skalabilitas, dan optimasi emosi.

Indonesia tidak jauh berbeda. Polanya sama, hanya kemasannya lebih terselubung. Dakwah ulama selebritas, penipuan paket umrah dan haji, perpuluhan agresif, retreat penyembuhan bertingkat—semuanya menjual janji berkat yang cepat. Perbedaannya bukan pada logika, melainkan pada gaya. Pertanyaannya tetap sama: ke mana uang itu mengalir, dan siapa yang terus diuntungkan?


Politikus Wut dan putranya Ae—dalang utama di balik komodifikasi iman dalam The Believers.


Dari Iman ke Infrastruktur: Siapa yang Diuntungkan?

Di balik paket-paket religius yang tampak sakral dan mulia, dana umat mengalir ke ruang-ruang yang tak terlihat. The Believers membuka tirai itu sejak episode pertamanya. Win, Game, dan Dear adalah anak-anak startup yang bangkrut setelah perusahaan NFT mereka dicurangi dari dalam, membuat mereka terjerat utang rentenir dengan bunga tak masuk akal. Di tengah keputusasaan, Win menemani ibunya ke kuil. Ia tidak beribadah. Ia hanya duduk di pojok, bersandar pada dinding, memejamkan mata—sementara pikirannya bekerja. Di hadapannya, layar donasi real-time menunjukkan angka 21 juta baht yang melonjak menjadi 22 juta hanya dalam hitungan menit.

Dari momen inilah semuanya bermula. Win menyadari bahwa donasi kuil sejatinya sudah berfungsi sebagai mesin uang yang stabil—hanya belum “dikemas” secara optimal. Di akhir episode pertama, ritual keagamaan secara terang-terangan diperlakukan sebagai produk. Donasi diubah menjadi paket berjenjang, dari versi dasar hingga premium dan VIP. Perbedaannya bukan pada kedalaman iman, melainkan pada kemewahan pengalaman. Bahasa yang digunakan sepenuhnya adalah bahasa bisnis: harga, paket, nilai tambah, segmentasi. Kuil pun bergeser dari ruang sakral menjadi platform ekonomi.

Setelah itu, serial ini bergerak melalui beberapa fase. Pada fase eksekusi, praktik spiritual distandarisasi menjadi produk yang repeatable dan scalable: program merit-making untuk donor tertentu, donasi bernama demi pengakuan sosial, serta seremoni yang dibingkai sebagai kebaikan dengan hasil yang seolah terukur. Pada fase branding, yang dijual bukan lagi ritual, melainkan narasi joy of giving. Memberi diposisikan sebagai kebahagiaan, partisipasi sebagai kesalehan, dan kebersamaan sebagai legitimasi.

Fase berikutnya adalah ekspansi dan distorsi. Produk-produk religius ini diserap ke dalam sistem yang jauh lebih besar: kampanye merit berskala raksasa, pembangunan ulang kuil sebagai produk donasi, hingga Mega Merit Projects yang secara implisit bertingkat berdasarkan kekuatan donor. Di titik ini, agama berubah menjadi infrastruktur, iman menjadi likuiditas, dan umat menjadi investor. Win, Game, dan Dear tidak lagi mengendalikan sistem—mereka hanya mengelolanya.

Kunci mengapa semua ini bisa terjadi adalah lemahnya pengawasan. Pengelolaan dana kuil berjalan dalam ruang yang longgar, minim regulasi, dan sulit dipertanyakan karena dibungkus kesakralan. Namun horor sesungguhnya bukan karena keinginan untuk kaya—itu manusiawi—melainkan karena biksu dan institusi kuil diseret ke dalam skema ini, merusak kontrak tak tertulis bahwa kemurnian merekalah yang membuat merit umat bermakna.

Di Season 2, fokus cerita bergeser sepenuhnya ke puncak kekuasaan. Model bisnis kuil tidak lagi sekadar menghasilkan uang, tetapi dimanfaatkan sebagai alat pencucian uang, akumulasi kekayaan, dan kontrol politik. Agama—dengan citra moralnya yang tinggi—menjadi instrumen yang sangat efektif untuk mengatur dan menundukkan masyarakat, tanpa paksaan fisik. Belenggu tak terlihat bekerja jauh lebih rapi daripada cambuk. Di sinilah iman berhenti menjadi praktik batin, dan berubah menjadi fondasi kekuasaan.


Win, Game, dan Dear—tiga anak startup yang menyadari celah dalam sistem donasi kuil
dan mencoba memanfaatkannya, meski pada akhirnya semuanya tidak berakhir baik bagi mereka.


Mengapa Kita Membutuhkan Iman—dan Mengapa Kita Perlu Waspada

Sejak awal keberadaannya, manusia bukan hanya makhluk yang bertahan hidup, tetapi juga pencari makna. Kita mencari arah, keseimbangan, dan rasa terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dari rutinitas harian. Karena itu spiritualitas hadir sebagai kebutuhan yang sangat manusiawi: cara untuk menenangkan batin, memahami penderitaan, dan bertahan saat hidup terasa rapuh—entah karena ekonomi, kehilangan, sakit, atau kekosongan yang sulit dijelaskan.

Agama kemudian lahir sebagai rumah bagi kebutuhan itu. Ia menawarkan komunitas, rasa memiliki, kerangka moral, tradisi, dan stabilitas. Pada titik terbaiknya, agama dan spiritualitas bisa menjadi penawar dahaga jiwa. Namun pertanyaan pentingnya bukan apakah iman itu baik atau buruk, melainkan bagaimana ia dijalankan—dan siapa yang mengendalikannya.

Untuk menjaga kedaulatan batin, kita perlu keberanian untuk menguji iman yang kita praktikkan. Tiga pertanyaan sederhana bisa menjadi penuntun: (1) apakah praktik kepercayaan saya membuat saya lebih welas asih, lebih bijak, dan lebih merdeka—atau justru merasa ketakutan, merasa superior dibanding penganut kepercayaan lain, penuh kebencian, serta semakin bergantung pada figur atau institusi tertentu? (2) Ke mana aliran uang dan kekuasaan dari devosi saya—siapa yang terus diuntungkan? (3) Apakah iman ini membentuk saya menjadi manusia yang lebih baik di sini dan saat ini, atau terutama menekan saya dengan ketakutan tentang kehidupan setelah mati?

Pertanyaan-pertanyaan ini sering terasa tidak nyaman, terutama di masyarakat di mana agama memiliki daya politik dan ekonomi yang besar. Namun The Believers menunjukkan bahwa di situlah letak kerentanannya: pencarian makna menjadi mudah dimonetisasi ketika daya kritis dimatikan.

Beragama bukan berarti sekadar patuh. Kita diberi akal budi untuk digunakan. Jalan spiritual yang lebih merdeka menuntut investigasi personal—menguji konsep iman terhadap pengalaman nyata kita sendiri. Jika sebuah praktik tidak menambah kejernihan, ketenangan, atau energi hidup dalam keseharian, mungkin ia perlu dievaluasi ulang. Ruang sakral yang paling sulit dimanipulasi bukan gedung atau simbol, melainkan kesadaran yang kita huni.

Sebagai konteks penutup, data global menunjukkan bahwa kelompok yang tidak berafiliasi agama (nones) meningkat hingga sekitar 24% populasi dunia pada 2020 (Pew Research Center). Ini bukan tanda matinya spiritualitas, melainkan meningkatnya kewaspadaan terhadap institusi yang mengklaim mengelola makna, iman, dan keselamatan.


Catatan: Saya juga menulis versi bahasa Inggris dari esai ini di Medium, dengan sudut pandang yang lebih global. Jika Anda ingin melihat bagaimana isu ini dibaca di konteks internasional, silakan membaca versi tersebut.


Penutup

Di akhir Season 2, Win, Game, dan Dear kalah telak. Mereka gagal menumbangkan kekuasaan korup yang telah mengakar dan kehilangan hampir segalanya. The Believers tidak menawarkan penghiburan: dunia tidak selalu berpihak pada kebaikan. Kontrol tetap berjalan, uang dan kekuasaan terus mengalir ke tangan mereka yang kuat dan tak tersentuh. Pola ini terasa sangat familiar di banyak negara korup di Asia Tenggara. Selama mereka yang dikontrol tidak sadar—atau memilih tidak sadar—bahwa mereka sedang dikendalikan, sistem ini akan terus hidup dan mengeksploitasi.

Kemunafikan sejati dalam kisah ini bukan terletak pada umat kecil yang berharap keberuntungan setelah berdoa, melainkan pada kuantifikasi ilahi: dorongan sistem untuk mengukur dan memberi nilai angka pada sesuatu yang seharusnya tak terhitung. Saat seseorang beribadah, apa sebenarnya KPI-nya? Pencerahan, ketenangan batin, kejernihan hidup bersama—semua ini bersifat batiniah dan personal, tak bisa dipadatkan menjadi target, grafik, atau nominal transfer.

Momen ketika iman berhenti menjadi spiritual dan berubah menjadi murni transaksional adalah saat perbuatan baik diberi label harga. Ketika make merit, keselamatan, atau kepatuhan religius harus diakses melalui paket-paket tertentu, maka relasi utama bukan lagi antara manusia dan kosmos, melainkan antara umat dan institusi pengelola kepercayaan. Di titik inilah sistem menempatkan dirinya sebagai perantara wajib dalam ekonomi spiritual—memonetisasi harapan, ketakutan, dan ketulusan ibadah. Yang perlu diekspos bukan hanya praktik korupsinya, tetapi rancangannya: mesin yang dibuat agar tampak sah, tenang, dan suci, sembari terus mengubah iman menjadi arus kas.




Komentar