Wicked: Glitter Pink dan Hijau yang Menutupi Tragedi
Daftar Isi
- Elphaba: Bukan Wicked, Bukan Hero — Cuma Frantic
- Glinda: The True Good Witch of Oz dengan Pengorbanan yang Keterlaluan
- Fiyero: Ganteng Doang, Sisanya Red Flags
- Overall Take: Tragedi yang Dibungkus Kisah Heroik dan Romantis
- Penutup
Ngebahas Wicked nggak bisa lepas dari The
Wonderful Wizard of Oz karya L. Frank Baum (1900). Kesuksesan novel ini
melahirkan banyak adaptasi, termasuk film MGM tahun 1939 yang ikonik
banget—apalagi karena teknologi Technicolor waktu itu baru muncul, jadi
warnanya benar-benar digaspol.
Lalu di tahun 1995, Gregory Maguire merilis novel Wicked,
reinterpretasi gelap dan politis tentang Oz. Novel ini kemudian diadaptasi
menjadi Broadway musical yang premier di 2003. Dua dekade kemudian barulah
versi filmnya hadir: Wicked (2024) dan Wicked: For Good (2025).
Saya sendiri pernah nonton versi panggungnya di Apollo
Victoria Theatre, London (2019), dan jujur: emosi live stage memang jauh
lebih nendang.
Maguire menulis Wicked untuk merombak konsep “si baik
vs si jahat” yang biasanya satu dimensi, sekaligus menunjukkan bagaimana
propaganda bekerja. Tapi tulisan saya kali ini nggak akan masuk ke politik Oz.
Fokus saya adalah tiga karakter anchor cerita—Elphaba, Glinda, dan Fiyero—yang
menurut saya sering terlalu “diglamorkan” oleh adaptasi-adaptasinya.
Secara umum, Wicked dipromosikan sebagai kisah heroik
tentang seorang underdog (Elphaba). Tetapi kalau dilihat benar-benar,
ceritanya justru penuh tragedi: semua tokohnya berakhir menderita.
Berlawanan dengan imej popular, saya melihat Glinda sebagai pahlawan tragis
sejati, sementara Elphaba adalah karakter yang frantic dan impulsif
yang—tanpa sadar—menciptakan lebih banyak kerusakan daripada kebaikan.
![]() |
| Elphaba — sosok frantic yang dibungkus citra heroik |
Elphaba: Bukan Wicked, Bukan
Hero — Cuma Frantic
Fokus utama Wicked ada pada dua karakter ini: Elphaba dan
Glinda. Elphaba selalu dicitrakan sebagai gadis hijau yang “buruk rupa” tapi
jenius—kebalikan dari Glinda yang populer, bubbly, dan perfeksionis. Perjalanan
karakter mereka yang saling mengubah satu sama lain adalah inti cerita Wicked.
Sepengamatan saya, Elphaba itu
pintar secara akademis, ambisius, dan peduli pada good cause—menunjukkan bahwa
hatinya sebenarnya murni. Dia juga vokal dan radikal dalam memperjuangkan
idealismenya, terutama soal ketidakadilan terhadap hewan yang dimanipulasi
lewat propaganda The Wizard.
Masalahnya: Elphaba impulsif! Dia selalu merasa
harus bertindak sekarang juga. EQ-nya labil, pikirannya lompat ke aksi tanpa
strategi. Celakanya, impulsivitas ini memicu kekacauan yang dia sendiri tidak
sadari. Nessarose tewas tragis dalam permainan politik yang tidak mampu
ia kendalikan. Boq kehilangan kemanusiaan dan menjadi Tin Man karena
sihir yang dilakukan dalam kondisi panik. Fiyero dikutuk menjadi
Scarecrow tanpa consent. Dan Glinda—sahabat yang paling menerima
dirinya—harus menanggung sakit hati sekaligus beban kekacauan Oz sendirian.
Jadi, Elphaba memang bukan wicked.
Dia frantic.
*Frantic: grasa-grusu, gegabah tanpa pikir panjang
Puncak impulsivitasnya terjadi ketika dia melepaskan
hewan-hewan yang dikurung The Wizard tepat sebelum wedding Glinda dan Fiyero.
Aksi ini menghancurkan pesta itu secara literal dan emosional, lalu Fiyero
kabur bersama Elphaba. Elphaba mungkin tidak berniat menyakiti Glinda, tetapi
ketidakmampuannya mengendalikan emosi membuat hari paling penting sahabatnya
hancur tanpa rencana cadangan, bukti bahwa di saat genting itu dia sama sekali
tidak memikirkan Glinda. Ini bentuk impulsivitas yang benar-benar merusak.
Sisi egoisnya makin terlihat saat konfrontasi setelah
kematian Nessa. Elphaba menyerang Glinda dengan, “He (Fiyero) never belonged to
you—he loves me!” Padahal Glinda baru saja kehilangan calon suaminya di wedding
yang porak-poranda. Ini bukan keberanian—ini insensitive dan self-centered. Di
titik itu, saya setuju kalau dia dibilang wicked.
Secara psikologis, pola ini masuk akal. Sejak kecil Elphaba
ditolak ayah dan lingkungannya karena kulit hijaunya. Mekanisme bertahannya
terbentuk sebagai fight—selalu menyerang duluan. Dia tidak pernah belajar
diplomasi atau membaca momentum. Dunia memanggilnya “Wicked” bukan karena niat
jahat, tetapi karena masyarakat takut pada kekacauan—dan Elphaba menciptakan
kekacauan demi kekacauan tanpa ia sadari.
Glinda: The True Good Witch of Oz dengan Pengorbanan yang Keterlaluan
Jika Elphaba adalah badainya, maka Glinda adalah orang yang
harus membangun kembali rumah yang hancur setelah badai itu lewat. Jujur,
Glinda adalah karakter favorit saya—terutama di versi panggung. Ariana Grande
itu oke, tapi secara komedi dan energi, menurut saya tetap belum bisa nyamain
Kristin Chenoweth, si DNA-nya Glinda. Tapi itu juga karena formatnya berbeda:
panggung butuh energi teatrikal, film butuh detail mikro-ekspresi.
Glinda adalah typical popular girl: suka bersolek,
serba pink, dan sangat peduli citra. Kalau Elphaba punya hard power (aksi
radikal, kekuatan destruktif), Glinda punya soft power: diplomasi,
empati, dan kedekatan dengan publik. Inilah yang dimanfaatkan The Wizard untuk
mengendalikan opini masyarakat.
Yang bikin Glinda menarik adalah perkembangan karakternya.
Dia membuka diri pada Elphaba, dan hubungan itu mengubahnya secara fundamental.
Menurut saya, Glinda adalah tokoh paling tragis di seluruh cerita—karena dia
menanggung beban paling besar.
1.
Pertama, dia terlihat punya segalanya:
popularitas, cowok impian, posisi. Tapi saat Fiyero kabur di tengah upacara
pertunangan mereka dan Glinda tetap menyanyi “Couldn’t be happier…”
sambil memaksa dirinya percaya bahwa dia bahagia, itu sangat menyayat hati.
Lagu Thank Goodness adalah contoh sempurna dari cognitive dissonance—keyakinan
yang tidak sesuai dengan kenyataannya.
2.
Kedua, tragedi pernikahannya yang gagal: pesta
ambyar karena hewan-hewan lepas, dan Fiyero benar-benar kabur (lagi) bersama
Elphaba. Adegan versi film ini pedih banget karena dia ditinggalkan secara
publik oleh calon suaminya dan sahabatnya. Kalau saya jadi Glinda, saya mungkin
nggak akan maafin Elphaba. Tapi Glinda masih bisa kasih nasehat jujur: “You are
out of control!” Kalimat inilah yang akhirnya menyadarkan Elphaba dari
ke-grasa-grusuannya.
3.
Ketiga, sebelum “menghilang,” Elphaba
menyerahkan The Grimmerie. Glinda sebenarnya nggak bisa baca bahasanya, tapi
dia memilih untuk belajar demi melanjutkan misi yang lebih besar. Setelah
Elphaba dan Fiyero kabur, Glinda tinggal sendirian di Oz—memimpin negara yang
carut-marut sekaligus memikul rahasia yang tidak bisa ia bagi kepada siapa pun.
Dia menjadi The Keeper of Secrets.
Bayangkan hidup sebagai pemimpin yang harus tersenyum di
depan publik, tapi menyimpan duka pribadi dan kebenaran pahit demi stabilitas
negara. Julukan “Glinda the Good” yang awalnya hanya branding berubah menjadi
ironi—karena kebaikan itu menuntut kebohongan.
Perjalanan Glinda menunjukkan evolusi besar: dari gadis
populer yang melakukan “kebaikan” demi pujian, menjadi pemimpin yang melakukan
kebaikan diam-diam, tanpa ada yang tahu. Dunia mungkin butuh Elphaba untuk
mengguncang status quo, tapi dunia butuh Glinda untuk menyatukannya kembali.
Banyak adaptasi mem-framing Elphaba sebagai korban sistem, saya
justru melihat Glinda sebagai korban terbesar dari badai impulsif Elphaba.
Elphaba bisa kabur dan hidup (diam-diam) bahagia dengan Fiyero. Glinda? Dia
menua sendirian di istana, memimpin negara yang rusak, dan memikul rahasia yang
tidak akan pernah diketahui rakyatnya. She is the tragic hero of Oz.
![]() |
| Fiyero — Jonathan Bailey in perfect make-up ðŸ˜ðŸ« |
Fiyero: Ganteng Doang, Sisanya Red Flags
Fiyero itu contoh paling jelas dari cowok ganteng tapi…
kosong. Baik di panggung maupun di film, dia diposisikan sebagai romantic hero,
padahal kalau diperhatikan baik-baik, perilakunya adalah parade red flags.
Di upacara pertunangannya dengan Glinda, dia bahkan nggak
sadar dia mau tunangan. Setelah diberi tahu, reaksinya cuma: “Kalau ini bikin
kamu hepi, ya udah, aku nikah sama kamu.” Padahal hatinya sudah ke orang lain.
Dan ketika Elphaba muncul, dia kabur di tengah acara—meninggalkan Glinda
sendirian di depan seluruh Oz. Ini bukan romance; ini public humiliation.
Lagu “Dancing Through Life” menggambarkan dia carefree,
keren, santai. Tapi sebenarnya itu red flag nomor satu: dia nggak mau ambil
keputusan sulit. Dia hanya mengikuti apa yang paling mudah. Dia setuju
tunangan karena itu opsi yang “nggak ribet.” Di dunia Oz yang penuh politik,
kelakuan Fiyero bukan cuma masalah putus cinta—tapi sabotase reputasi.
Semua fallout sosial dan politiknya jatuh ke Glinda.
Ironisnya, pada akhirnya dia juga menjadi korban
impulsivitas Elphaba. Fiyero tidak pernah memberi consent untuk hidup abadi
sebagai Scarecrow. Elphaba mengubahnya dengan alasan cinta, tapi sebenarnya
itu tindakan yang lahir dari kecemasannya sendiri. Sepanjang hidupnya Fiyero
dianggap dangkal — lalu Elphaba mengubahnya menjadi makhluk yang secara harfiah
tidak punya otak. Dark comedy at its finest.
Setelah menjadi Scarecrow, Fiyero menjemput Elphaba dan
mereka kabur! Secara resmi alasannya “cinta,” tapi jujur: sebagai makhluk
jerami yang kehilangan identitas sosial, he’s got nowhere to go. Dia
tidak bisa kembali ke masyarakat, tidak bisa menjadi pangeran, tidak bisa
menjadi tentara. Hidupnya sekarang adalah keterasingan permanen—bukan karena
idealismenya, tetapi karena keputusan Elphaba. Ini bentuk pencurian otonomi
yang halus tapi serius: Elphaba memperjuangkan hak-hak hewan, tapi merampas hak
Fiyero untuk memilih hidupnya sendiri. Ironis!
Fiyero adalah korban dan pelaku.
- Korban
Glinda karena dijadikan “aksesoris” popularitas.
- Korban
Elphaba karena diubah menjadi Scarecrow tanpa izin.
- Pelaku
hancurnya hati Glinda karena ketidakmampuannya bersikap tegas.
Dia adalah karakter dengan lack of agency. Dia tidak
pernah memilih apa pun secara dewasa; dia hanya berpindah dari satu arus ke
arus lain—dari Glinda → ke Elphaba → ke nasibnya sebagai Scarecrow.
Lalu kenapa penonton tetap “membeli” romansa ini, terutama
di film? Karena film menggunakan dangerous charm seorang People’s SexiestMan Alive 2025, Jonathan Bailey, sebagai senjata. Kita tahu Fiyero itu red
flag, tapi Bailey membuat kita otomatis memaafkannya. Dia menghidupkan karakter
yang sebenarnya kosong, sehingga lack of agency itu terbaca sebagai “kerapuhan
romantis.” Dan jujur aja: waktu dia kiss the librarian, kenapa saya
ikutan melting and blushing? 🫠The movie weaponizes
him. It’s borderline cheating!
![]() |
| Who is the true hero among them? |
Overall Take: Tragedi yang Dibungkus Kisah Heroik dan Romantis
Baik versi panggung maupun film selalu membungkus ending Wicked
sebagai sesuatu yang megah dan romantis: Elphaba pergi bersama Fiyero, Glinda
berdiri anggun dalam bubble-nya, dan musiknya membuat semuanya terasa seperti
kemenangan. Tapi kalau kita benar-benar masuk ke sepatu para karakternya,
semuanya adalah tragedi!
Fiyero tidak pernah meminta hidup abadi sebagai
Scarecrow. Itu bukan anugerah—itu kutukan. Dia kehilangan tubuh manusia,
perasaan manusia, identitas sosialnya sebagai pangeran, dan jalur hidupnya.
Dunia akan menua dan mati, sementara dia terjebak di tengah-tengah: tidak
hidup, tidak mati. “Cinta” dalam bentuk ini adalah isolasi. Dia menjadi
korban dari cinta impulsif Elphaba.
Glinda adalah hero sejati Oz. Hubungannya
dengan Elphaba memang membuatnya tumbuh, tetapi harganya luar biasa tinggi.
Tunangannya kabur bersama sahabatnya sendiri. Dia memikul rahasia Oz, mengelola
kerusakan politik, dan memimpin negara sendirian. Di depan publik dia
tersenyum; di dalam hati dia memikul kehilangan yang tidak bisa dibagikan pada
siapa pun. Dia tidak punya pelarian seperti Elphaba. Dia adalah tawanan dari
perannya sendiri — “popular” bukan karena ingin dipuji, tetapi karena Oz
membutuhkannya sebagai simbol stabilitas.
Elphaba punya niat baik, tetapi impulsivitasnya
menciptakan kerusakan besar: Nessa, Boq, Glinda, Fiyero. Dia akhirnya belajar
mempercayakan misinya pada Glinda, tetapi tetap ada harga moral yang membayangi
hidupnya. Pelariannya bersama Fiyero bukan kemenangan heroik, tapi bentuk exile.
Membayangkan berada di posisinya, rasa bersalahnya akan menghantui seumur hidup
— and that’s not a very nice way to live!
Seandainya dia lebih sabar dan strategis, Elphaba sebenarnya
punya peluang untuk mengubah Oz dari dalam—melalui statusnya sebagai “anak
emas” Wizard atau lewat pengaruh Glinda. Namun Elphaba terlalu idealis untuk
memahami konsep “noble lie”: bahwa tidak semua kebenaran bisa dijatuhkan
sekaligus tanpa menghancurkan masyarakat. Dia memilih jalan konfrontasi yang
membakar jembatan-jembatan penting. Instead, Glinda-lah yang akhirnya harus
mempraktikkan noble lie itu selamanya, sementara Elphaba
"bebas" dari beban kejujuran itu karena dia sudah dianggap mati.
Pada akhirnya, transformasi karakter-karakter ini menjadi
ironinya: Elphaba yang vokal menjadi bayangan yang bersembunyi; Glinda yang
dangkal menjadi pilar kekuatan Oz; Fiyero yang carefree berubah menjadi sosok
tanpa suara dan tanpa pilihan.
Tiga jalan hidup, tiga tragedi yang berbeda.
Cerita yang dikemas sebagai heroik dan romantis… ternyata
adalah rangkaian kehancuran yang tersembunyi di balik musik megah dan bubble
pink.
![]() |
| Wicked — dari panggung musikal ke layar lebar |
Penutup
Satu hal yang mengganggu saya di film Wicked adalah
chemistry Elphaba–Fiyero yang terasa kosong. Setelah saya cari tahu, problemnya
ada di eksekusi filmnya:
- Film
memang lebih menekankan persahabatan Elphaba–Glinda, sehingga hubungan
Elphaba–Fiyero tidak punya cukup build-up. Adegan “As Long As You’re
Mine” jadi terasa instan, bukan earned.
- Teater
dan film bekerja berbeda. Di panggung, penonton tidak bisa melihat detail
wajah sehingga imajinasi mengisi sendiri chemistry di antara mereka.
Sementara di layar lebar, micro-expression trap terjadi: ketika
build-up kurang, kamera membongkar semua celahnya.
Menonton Wicked versi film sebenarnya tetap enjoyable
tanpa harus menonton teaternya. Tapi banyak orang menganggap bagian keduanya
terasa “dipaksakan.” Padahal di versi panggung pun alurnya memang seperti itu.
Filmnya bahkan menambahkan adegan seperti almost-wedding Glinda–Fiyero
yang tidak ada di panggung. Jadi kalau mau menyalahkan sesuatu, yang harus
disalahkan adalah Broadway musical sebagai source material-nya.
Secara pribadi, saya tetap lebih suka versi stage play.
Versi panggung penuh dengan dark, sudden jokes yang menyisipkan tawa di antara
naik-turunnya emosi. Humor ini bukan untuk melembutkan tragedi—justru untuk
mempertajamnya. Teknik comic relief bekerja seperti pegas: makin tinggi
penonton tertawa, makin sakit penonton jatuh. Banyak joke panggung tidak bisa
diterjemahkan ke film tanpa merusak cinematic spell, jadi wajar kalau
humor di versi film terasa kurang nendang.
Dari sini saya masuk ke refleksi personal.
Kesimpulan tentang tiga karakter ini saya capai lewat proses emotional labor—mencoba
membayangkan bagaimana rasanya hidup sebagai mereka. Narasi Wicked
memang tampak ceria; warna pink dan hijau sengaja menutupi kelemahan karakter
dan tragedi-tragedinya.
Defying Gravity seolah berteriak “Freedom!”, tapi
bagi saya itu terdengar lebih seperti “Panic!”—let’s do something without a
clear plan. Menantang The Wizard sambil terbang-terbang dan membuat kekacauan
justru memperkuat propaganda sang Wizard. Secara nggak sadar, Elphaba
menyuguhkan kemenangan kepada musuhnya di piring perak.
Dan… soal ngerebut calon suami orang? Come on. Elphaba
seharusnya tahu lebih baik. Fiyero aja labil—dia bilang “yes” ke Glinda, lalu
kabur. What a prick!
Harapan saya, saat kalian menonton Wicked, jangan
hanya menjadikannya escapism: aksi heroik dan romansa aja. Lihat juga apa yang
sebenarnya terjadi di balik glitter-nya Oz.
So guys… gimana menurut kalian?
Apa yang kalian lihat di balik gemerlap Oz?
Yuk discuss di kolom komen.






Komentar
Posting Komentar
Komen dong...