Zootopia 2: Anatomi Kebohongan dan Trust
![]() |
| Kiri ke kanan: Nick Wilde, Gary De’Snake, dan Judy Hopps |
Sembilan tahun setelah film pertamanya, Judy Hopps dan Nick Wilde akhirnya kembali beraksi. Kini, mereka resmi menjadi partner di Zootopia Police Department (ZPD). Kasus yang awalnya tampak seperti penyelundupan biasa perlahan membuka rahasia paling gelap di jantung kota Zootopia. Dalam penyelidikan ini, mereka bertemu Gary De’Snake (Ke Huy Quan), seekor viper penuh teka-teki, serta Nibbles Maplestick (Fortune Feimster), seekor berang-berang Amerika Utara yang dikenal sebagai podcaster teori konspirasi. Nibbles dipenjara karena obsesinya pada “kebenaran” Zootopia, dan bersama Gary, ia menjadi kunci penting dalam upaya Judy dan Nick menguak kebohongan terbesar kota ini. Menarik, kan?
Keluar dari bioskop, saya merasa: hepi! Filmnya cerah,
petualangannya seru, dan dunianya terasa makin luas. Kita diajak ke wilayah
baru bernama Marsh Market, terinspirasi dari kawasan selatan Amerika seperti
Florida dan Gulf Coast, dengan sentuhan pasar air khas Asia Tenggara. Jumlah
hewan yang tampil terasa jauh lebih banyak, dan dinamika karakternya hidup.
Saya datang tanpa membaca apa pun sebelumnya, jadi semua terasa segar. Baru
setelah browsing, saya sadar banyak karakter sampingan diisi oleh nama-nama
besar—termasuk Ke Huy Quan sebagai Gary De’Snake.
Secara umum, respons terhadap Zootopia 2 cukup positif.
Banyak yang menyebutnya sebagai salah satu sekuel Disney yang berhasil, di
tengah tren sekuel yang belakangan terasa kurang kuat. Sejak film pertamanya,
Zootopia memang sudah tampak sebagai salah satu IP Disney paling solid. Saat
berkunjung ke Shanghai Disneyland, saya bahkan melihat lebih banyak orang
memakai headband Judy dan Nick dibandingkan Mickey dan Minnie. Rasanya, mereka
telah menjadi ikon Disney modern.
![]() |
| Zootopia Bowler Hat Ears - Judy Headband yang saya lihat di Disneyland |
Zona Zootopia di Shanghai Disneyland juga menjadi salah satu
area paling hidup. Setiap detail dirancang agar kota ini terasa inklusif bagi
semua hewan: ventilasi pendingin untuk beruang kutub, pemanas untuk makhluk
gurun, jerapah berolahraga di treadmill, tikus berlari di roda kecil di
bawahnya. Bahkan ketika pintu tertutup, soundscape kota tetap berjalan—obrolan
lirih para hewan yang membuat Zootopia terasa bernapas. Inilah salah satu
bentuk “magic” Disney yang masih bekerja dengan sangat baik.
Sebuah Kota yang Bertumpu pada Trust
Di balik kemasannya sebagai film anak-anak, Zootopia
dibangun di atas isu-isu sosial yang sangat dekat dengan kehidupan nyata. Kota
ini tampak seperti utopia penuh warna, tetapi sesungguhnya tidak berdiri di
atas kebenaran, melainkan di atas kebenaran yang dipercaya. Perekatnya
adalah trust—fondasi rapuh bagi infrastruktur, hukum, dan sejarah
Zootopia—yang membuat kota ini tetap tegak berdiri, atau bisa runtuh
sewaktu-waktu. Trust bekerja di level sistem, dalam relasi antarkarakter, di
Zootopia, dan juga dalam kehidupan kita sendiri.
Bukan blog saya kalau kita tidak melangkah ke sisi yang
lebih gelap.
Mari kita buka satu per satu. (Spoiler alert, ya!)
Catatan: Trust dalam bahasa Indonesia berarti
kepercayaan. Saya menggunakan istilah “trust” karena secara nuansa terasa lebih
mengena.
Daftar Isi
- Sebuah Anatomi Kebohongan
- Banal Villainy: Kejahatan dari Kepatuhan
- Kebhinnekaan: Anugerah atau Jebakan?
- Idealisme tanpa Luka vs. Realisme dengan Luka
- Penutup
Sebuah Anatomi Kebohongan
Ebenezer Lynxley dikenang sebagai Founding Father
Zootopia, sosok lynx yang dianggap membangun kota ini dari nol. Namun, seiring
cerita bergerak, kita menyadari bahwa Zootopia tidak lahir dari kejeniusannya
semata, melainkan dari penghapusan, pengkhianatan, dan kebohongan yang dipoles dengan
sangat rapi.
Blueprint kota Zootopia sebenarnya diciptakan oleh Agnes
De’Snake, seekor viper jenius yang merancang teknologi dinding cuaca demi satu
tujuan: agar semua hewan dapat hidup berdampingan dalam beragam iklim. Agnes
memiliki visi dan pengetahuan, sementara Ebenezer menyediakan pendanaan. Namun
kerja sama ini tidak pernah setara. Ebenezer melanggar perjanjian mereka,
mencuri rancangan kota, dan mengambil seluruh kredit atasnya. Agnes dijebak
dengan tuduhan pembunuhan, sementara upayanya mempertahankan paten justru
menjadi alasan untuk menghapus namanya sepenuhnya dari sejarah—nasib yang
mengingatkan saya pada Dasiyah dalam Gadis Kretek, figur jenius yang
karyanya dirampas demi kejayaan orang lain.
Untuk mengamankan posisinya, Ebenezer menggunakan ketakutan
sebagai alat. Reptil—khususnya ular—dibingkai sebagai makhluk “berdarah dingin”
yang tidak dapat dipercaya. Narasi ini melahirkan The Great Banishment:
pengusiran reptil ke wilayah bawah tanah atau daerah terpencil seperti Marsh
Market. Dari titik ini, Zootopia berdiri sebagai kota yang tampak harmonis di
permukaan, tetapi dibangun di atas gentrifikasi dan penggusuran yang
disamarkan sebagai ketertiban.
![]() |
| Ebenezer Lynxley, “pahlawan” palsu dalam sejarah Zootopia. |
Ebenezer tidak membangun Zootopia dari kejeniusannya sendiri, melainkan dari pencurian, ketimpangan, dan penulisan ulang sejarah. Inilah bentuk legacy laundering: ketika kejayaan diwariskan kepada pihak yang paling lantang bersuara, sementara mereka yang benar-benar berkontribusi dikubur dalam catatan kaki—atau dihapus sama sekali.
Agnes menaruh trust pada Ebenezer untuk mewujudkan visinya. Namun trust itulah yang dimanipulasi dan dihancurkan. Dampaknya tidak berhenti pada satu individu. Koloni reptil disingkirkan sebagai kelompok yang “tidak layak dipercaya”, sementara warga Zootopia menaruh trust pada narasi palsu yang memoles kota menjadi ruang semi-homogen: bersih, rapi, dan bebas dari reptilia.
Zootopia, seperti banyak “kota ideal” lain, tidak menghapus kekerasan yang melahirkannya. Ia hanya menyembunyikannya dengan sangat baik.
![]() |
| Kiri ke kanan: Pawbert Lynxley, Gary De’Snake, dan Judy Hopps. |
Banal Villainy: Kejahatan dari Kepatuhan
Jika Ebenezer Lynxley adalah Founding Thief Zootopia,
maka kota ini berdiri di atas kebohongan yang membutuhkan satu hal agar tetap
bertahan: kepatuhan. Kebohongan sebesar ini tidak bisa berjalan
sendirian. Ia memerlukan orang-orang biasa yang bersedia menjalankan sistem
sebagaimana adanya, tanpa banyak bertanya. Di sinilah konsep banal
villainy berperan—bukan kejahatan yang lahir dari niat jahat atau
ambisi besar, melainkan dari kepatuhan. Dari mengikuti aturan. Dari rasa aman
berada di sisi yang “menang”.
Pawbert Lynxley (Andy Samberg) adalah representasi paling jelas dari mekanisme ini. Ia bukan monster, bukan dalang utama, dan bukan sosok yang tampak berbahaya. Ia hanyalah seseorang yang ingin tetap menjadi bagian dari warisan pemenang. Putra dari Milton Lynxley—pengusaha kaya yang mengendalikan banyak infrastruktur kota—Pawbert memilih mempertahankan sistem yang busuk demi mengamankan posisinya sendiri.
Di awal, ia digambarkan sebagai sosok yang lemah dan baik, berpihak kepada Gary karena dikucilkan oleh keluarganya. Penonton pun menaruh trust padanya, mengira Pawbert akan membantu membongkar kebusukan keluarganya. Namun Pawbert justru menaruh trust pada kebohongan yang diwariskan nenek moyangnya. Ia percaya bahwa dengan menjadi “pahlawan” yang mempertahankan warisan Ebenezer, ia akan kembali diterima oleh keluarganya. Kebaikan yang ia tampilkan bukanlah kebetulan, melainkan bagian dari mekanisme yang membuat sistem terus berjalan. Ia tidak terlihat kejam—dan justru itulah yang membuatnya berbahaya. Inilah wajah banal villainy: kejahatan yang terasa normal.
![]() |
| Zootopia, kota dengan keberagaman spesies warganya. |
Kebhinnekaan: Anugerah atau Jebakan?
Sejak awal, Zootopia dibayangkan sebagai kota tempat
berbagai spesies hidup berdampingan. Kebhinekaan adalah fondasinya, sekaligus
sumber gesekan yang tak terhindarkan. Di film pertama, konflik berpusat pada
relasi predator dan mangsa. Di Zootopia 2, garisnya bergeser menjadi mamalia
versus reptilia. Polanya tetap sama: sebuah masyarakat sering kali lebih mudah
bersatu ketika memiliki pihak lain untuk dicurigai. Kebhinekaan, alih-alih
dirayakan, berubah menjadi sumber kecemasan—dan seperti biasa, kelompok yang
dijadikan kambing hitamlah yang menanggung dampaknya.
Hidup dalam kebhinekaan memang tidak mudah. Prasangka dan
bias selalu menjadi tantangan utama dalam membangun trust. Di Indonesia,
misalnya, dengan slogan Bhinneka Tunggal Ika, isu SARA masih bertebaran
di mana-mana. Slogan dan idealisme tidak otomatis menghapus ketegangan.
Kebhinekaan bukan kondisi yang nyaman—ia penuh ketidakpastian, salah paham, dan
risiko konflik. Namun di dunia yang semakin terhubung, kebhinekaan bukan lagi
pilihan, melainkan keniscayaan.
Sebaliknya, homogenitas menawarkan kenyamanan. Dunia yang
seragam terasa lebih tenang dan mudah ditebak, sehingga trust murah
harganya. Tetapi keamanan semacam ini datang dengan harga yang mahal.
Masyarakat yang terlalu homogen cenderung berhenti bergerak. Tanpa perbedaan,
tidak ada gesekan. Tanpa gesekan, tidak ada pembaruan. Saya melihatnya di
banyak tempat: komunitas yang tertutup dan rasis sering merasa paling unggul,
padahal terputus dari sejauh apa dunia telah bergerak—seperti katak di dalam
tempurung.
Di sinilah peran trust menjadi krusial. Dalam komunitas homogen, kepercayaan tumbuh karena keseragaman. Dalam masyarakat majemuk, kepercayaan harus dibangun dengan sadar—melalui pemahaman, bukan asumsi. Perbedaan yang tidak dipahami mudah berubah menjadi prasangka. Alam memberi analogi yang sederhana: hutan bertahan karena keanekaragaman hayatinya, sementara lahan monokultur mungkin tampak efisien di awal, tetapi rapuh dalam jangka panjang. Sekali terserang penyakit atau perubahan lingkungan, sistemnya mudah runtuh. Keberagaman adalah biological insurance—perlindungan alami terhadap stagnasi dan kehancuran.
Di Zootopia, prinsip ini tercermin melalui Gary. Sebagai spesies yang disingkirkan dan ditakuti, justru Gary berulang kali menjadi kunci keselamatan Judy dan Nick. Sensor termalnya mampu melacak jejak panas yang tak terlihat oleh mamalia. Tubuhnya memberinya jangkauan dan kecepatan untuk merebut anti-venom, sekaligus melilit Judy sebagai selimut hidup agar suhu tubuh mereka tetap stabil. Keberagaman di Zootopia bukan sekadar simbol, melainkan sumber kemampuan yang nyata. Judy dan Nick pun mempertaruhkan trust mereka pada Gary—kelompok yang selama ini dicap menakutkan. Dan keputusan itu berhasil. Ketika trust diberikan secara sadar, ia tidak lagi rapuh, melainkan menjadi fondasi yang memungkinkan keharmonisan dan kemajuan bersama.
![]() |
| Nick Wilde dan Judy Hopps di kawasan Marsh Market. |
Idealisme tanpa Luka vs. Realisme dengan Luka
Ada satu adegan penting di Honeymoon Lodge, ketika Judy
menemukan bukti bahwa keluarga Lynxley telah menghapus keberadaan koloni reptil
dari sejarah Zootopia. Lodge hampir runtuh, dan ZPD sudah sangat dekat untuk
menangkap mereka. Di tengah situasi genting itu, Nick membujuk Judy untuk
melarikan diri demi keselamatan. Judy menolak. Ia bersikeras mengumpulkan bukti
agar kebenaran bisa diungkap.
Judy: We have to solve the case, Nick!
Nick: I don’t care about the case! It’s not worth dying for.
Judy: The world will never be a better place if no one is brave enough
to do the right thing.
Nick: The world is what it is, Carrots. And sometimes, being a hero it just doesn’t make a difference.
Judy: I think… maybe we are different.
Di momen ini, Judy berdiri sebagai figur idealis. Ia percaya
bahwa melakukan hal yang benar tetap bermakna, bahkan di dalam sistem yang
busuk. Judy belum sepenuhnya “terluka” oleh sistem; ia masih meyakini bahwa
kebenaran, keberanian, dan ketekunan cukup untuk mendorong perubahan. Namun
idealisme ini memiliki titik buta. Berhadapan langsung dengan banal villainy
seperti Pawbert, keyakinan Judy berisiko runtuh jika berdiri sendirian.
Nick berdiri di sisi sebaliknya. Realismenya terbentuk oleh
luka. Ia telah cukup lama berhadapan dengan sistem yang curang untuk tahu
betapa mahalnya harga menjadi “pahlawan”. Bagi Nick, sistem jarang berubah oleh
satu individu. Sinismenya bukan tanda ketidakpedulian, melainkan mekanisme
bertahan hidup dari kelelahan yang panjang. Ia memahami bagaimana legacy
laundering bekerja, dan bahwa niat baik sering kali tidak cukup.
Justru dari kontras inilah trust memperoleh bobotnya.
Trust Judy hadir secara alami; ia percaya karena itulah cara ia memandang
dunia. Trust Nick berbeda—ia adalah pilihan sadar, sebuah pertaruhan meski
mengetahui risiko kegagalannya. Karena itu, trust Nick terasa lebih berat dan
bermakna.
Jadi, mana yang lebih baik? Judy atau Nick?
Jika hanya ada Judy, perjuangan mungkin akan padam saat
dunia menunjukkan kerumitannya. Jika hanya ada Nick, kota akan stagnan,
menunggu akhir tanpa pernah mencoba. Namun bersama-sama, mereka menciptakan
sesuatu yang tak diperhitungkan keluarga Lynxley: optimisme yang
terinformasi. Nick memberi Judy peta agar ia tidak tersandung, sementara
Judy memberi Nick alasan untuk terus melangkah. Nick menawarkan cara; Judy
menawarkan tujuan.
Dalam hidup, kita membutuhkan keduanya—visi Judy untuk
melihat kemungkinan, dan kewaspadaan Nick untuk mengenali risiko di baliknya.
![]() |
| Nick Wilde dan Judy Hopps di Zootennial Gala. |
Penutup
Seperti kebanyakan film Disney, Zootopia 2 berakhir
dengan keadilan yang ditegakkan. Zootennial Journal berhasil
diselamatkan, halaman Original Patent dengan nama Agnes dikembalikan ke
tempatnya, dan keluarga Lynxley akhirnya ditahan. Seandainya dunia selalu
bekerja seindah film-film Disney, mungkin kita semua bisa hidup dengan
optimisme polos seperti Judy Hopps.
Namun, dunia nyata jarang seberuntung itu. Legacy
laundering sering kali tak pernah terungkap, sementara gentrifikasi dan
penggusuran terus berjalan tanpa keadilan yang jelas. Dalam banyak hal, dunia
kita bekerja lebih mirip Gadis Kretek daripada Zootopia. Karena pada
akhirnya, menjadi bagian dari banal villainy—ikut saja, diam saja—sering
terasa jauh lebih mudah dan nyaman dibandingkan mengambil risiko untuk
melakukan hal yang benar.
Bangkit atau runtuhnya sebuah dunia sangat bergantung pada trust.
Ketika trust dikhianati—seperti Agnes kepada Ebenezer, atau penonton kepada
Pawbert—yang tersisa adalah kehancuran. Namun ketika trust bekerja, seperti
Judy dan Nick kepada Gary, dunia justru menemukan pijakannya kembali. Trust
memang agak terasa seperti judi; karena itu ia tidak bisa diberikan secara
buta. Trust harus diperoleh, dijaga, dan dipertaruhkan dengan kesadaran.
Menelusuri tema-tema tersebut, Zootopia 2 terasa
memiliki bobot yang lebih dewasa. Barangkali inilah alasan film ini dipuji
sebagai sekuel Disney yang berhasil: ia tidak hanya berhasil untuk anak-anak,
tetapi juga untuk penonton dewasa. Animasinya indah, alurnya rapi, dan humornya
tetap segar, membuat pengalaman menonton terasa ringan dan mengasyikan meski
sarat makna.
Yang juga saya apresiasi adalah hubungan Judy dan Nick. Kedekatan mereka memang intim, nyaris terbaca romantis, tetapi film ini memilih tidak memaksakannya ke arah sana. Apa yang mereka miliki adalah hubungan platonis yang jujur—keberanian untuk saling mempercayakan perasaan mereka yang paling rapuh, hingga akhirnya mengakui bahwa mereka saling membutuhkan agar tetap utuh di dalam sistem yang penuh tantangan.
Jika kalian punya kesempatan, saya sangat merekomendasikan Zootopia 2—bukan hanya sebagai hiburan, tetapi sebagai cermin kecil tentang dunia yang kita huni bersama.







Komentar
Posting Komentar
Komen dong...